Kuliah Filsafat Ilmu bersama Prof. Dr Marsigit MA
FILSAFAT ILMU
A. Penjelasan
Filosofis Terhadap Beberapa Objek Matematika di SMP
1.
Objek
Persegi
adalah bangun datar dua dimensi yang dibentuk oleh empat buah rusuk yang sama
panjang dan memiliki empat buah sudut yang kesemuanya adalah sudut siku-siku. Persegi
merupakan turunan dari segi empat yang mempunyai ciri khusus keempat sisinya
sama panjang dan keempat sudutnya siku-siku (90°). Ciri-ciri lain dari persegi
yaitu:
a. Terbentuk
dari 4 garis yang saling berpotongan tegak lurus.
b. Memiliki
4 sisi sama panjang.
c. Memiliki
4 titik sudut.
d. Keempat
sudutnya siku-siku.
e. Memiliki
2 pasang garis sejajar
f. Setiap
sudut-sudut dalam persegi dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya
sehingga diagonalnya merupakan sumbu simetri.
Sifat-sifat
persegi yaitu semua sisi persegi yang berhadapan sama panjang dan sejajar,
diagonalnya sama panjang, setiap sudut persegi dibagi dua sama besar oleh
diagonalnya, serta kedua diagonalnya berpotongan tegak lurus.
.
Penemu
persegi adalah st. Patrick Geomatri yang berasal dari Yunani. Ia menemukan
persegi sejak tahun 461 Masehi. Pada saat itu
ia membentuk taman berbentuk persegi, selain itu ia mengonversikan persegi
berukuran sedang dan kecil dan persegi itu dapat digunakan sebagai pelajaran
geometri pada mata pelajaran matematika.
2.
Fenomena Pembelajaran
Dari uraian sisi-sisi persegi diatas, terdapat
kaitan sisi-sisi persegi dengan ilmu dan derajat orang dimata Sang Pencipta.
Persegi dan ilmu mempunyai kesamaan yaitu sisi persegi ibarat ilmu dan sisi
yang lain ibarat derajat. Jadi semakin panjang sisi persegi maka semakin
panjang pula sisi persegi yang lain dan semakin pendek sisi persegi semakin
pendek pula sisi persegi yang lain.
Jika kita kaitkan dengan ilmu maka semakin
panjang/banyak ilmu seseorang maka semakin panjang juga/tinggi derajat
seseorang tersebut dan juga semakin sedikit atau pendek ilmu seseorang maka
semakin rendah derajat seseorang. Namun, yang pelu diingat, ilmu yang bisa
mengangkat derajat kita yaitu ilmu yang sekaligus bisa mengamalkannya.
Apa ada sisi suatu persegi yang negative? Tentu saja
tidak karena panjang dan lebar suatu bangun datar haruslah positif.
Sama halnya dengan ilmu, tidak ada derajat bagi
pemilik ilmu yang tidak mengamalkannya atau malah ilmu tersebut menjadikannya
sombong, ujub, tinggi hati yang nantinya malah menjeruskannya kedalam api
neraka. Mari kita tingkatkan keimanan kita dan semoga kita tergolong
orang-orang yang berilmu dan mampu mengamalkannya sehingga kita akan
mendapatkan derajat yang tinggi dan pada akhirnya kita akan mempeloleh
surga-Nya.
B. Identifikasi
Persoalan Filosofis Pembelajaran Matematika di Sekolah: “Jika Mungkin” akan
Menjadi Cikal Bakal Penulisan Tesis
Pembelajaran
matematika yang masih mengutamakan hafalan menjadi salah satu persoalan
filosofis pembelajaran matematika di sekolah. Dalam pembelajaran matematika,
peserta didik diarahkan untuk menyelesaikan berbagai soal perhitungan tanpa
dibarengi dengan penguatan konsep-konsep dasar yang menjadi bagian esensi atau
ide dasar dari materi yang sedang dipelajari. Bahkan pembelajaran matematika
saat ini lebih mengarahkan peserta didik untuk menghafalkan berbagai rumus
tanpa dibarengi dengan penguatan mengenai pemahaman akan makna dari rumus-rumus
tersebut. Alhasil peserta didik saat ini menjadi penghafal rumus-rumus tanpa
memahami makna atau filosofi dari rumus yang mereka hafalkan.
Fakta di
lapangan lainnya, kadang kala guru menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk
materi yang bersifat final. Ketika menjelaskan materi tersebut, guru tidak
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membangun konsep yang sedang
dipelajari dan memasukannya ke dalam struktur kognitif. Kebanyakan guru
memberikan materi dan meminta peserta didik menghafalkannya. Alhasil materi
yang diberikan guru akan dihafalkan oleh peserta didik tanpa dikaitkan dengan struktur
kognitif (pengetahuan awal yang sudah dimiliki siswa).
Jika peserta
didik mendapatkan materi yang dihafalkan tanpa dikaitkan dengan struktur
kognitif, maka bukan tidak mungkin materi tersebut cenderung akan akan mudah dilupakan
dan tidak akan tertanam secara kuat dalam benak peserta didik. Proses
pembelajaran yang mengarahkan pada belajar bermakna memang semakin jarang
diterapkan, pembelajaran saat ini lebih cenderung pada proses belajar
menghafal. Berhubungan dengan kognitif, siswa pada dasarnya adalah filsuf
alamiah yang mempertanyakan segala sesuatu termasuk sesuatu yang sudah jelas
dimata orang dewasa. Kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan
mempertanyakan segala sesuatu. Oleh karena itu, kegiatan menghafalkan dapat
menghambat kemampuan berpikir kritis siswa yang secara alamiah sudah ada dalam
diri siswa.
Hal tersebut
terjadi karena berbagai faktor, antara lain adanya sistem yang 'memaksa' guru
untuk mengarahkanpembelajaran pada belajar hafalan. Sebagai contoh adanya ujian
atau tes yang dilaksanakan dengan soal yang dominan hafalan dan hitungan akan
mengarahkan peserta didik menghafalakan rumus dan banyak latihan soal hitungan
tanpa memahami makna rumus dan esensi konsepnya. Andai bentuk soal tes atau
ujian yang diberikan kepada peserta didik pada saat ulangan harian, latihan
soal, ulangan semseter, ujian sekolah maupun ujian nasional tidak dominan
hafalan dan hitungan, tetapi lebih dominan pertanyaan-pertanyaan yang menggali
konsep dasar. Maka bukan tidak mungkin setiap guru pun akan mengarahkan
pembelajarannya pada belajar bermakna. Guru tidak lagi meminta peserta didik
menghafalakan rumus dan mengajarkan cara menerapkan rumus pada soal hitungan,
tetapi guru mengajak peserta didik berpikir dan mengarahkan pada pembelajaran
yang menjawab pertanyaan dengan kata tanya "mengapa",
"bagaimana", "jelaskan".