Dasar Etnomathematics dan
Artefaknya
Istilah
ethnomathematics yang selanjutnya disebut etnomatematika diperkenalkan oleh
D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Definisi
etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah:
The
prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the
socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of
behavior, myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends
to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as
ciphering, measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is
derived from techné, and has the same root as technique (Rosa
& Orey 2011)
Secara bahasa,
awalan “ethIno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas yang mengacu pada
konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan
symbol. Kata dasar “matIhema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui,
memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi,
menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran “tIics “berasal dari techne, dan bermakna
sama seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai:
"The mathematics which is
practiced among identifiable cultural groups such as national-tribe societies,
labour groups, children of certain age brackets and professional classes"
(D'Ambrosio, 1985)
Artinya:
“Matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya diidentifikasi seperti
masyarakat nasional suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu
dan kelas profesional" (D'Ambrosio, 1985).
Istilah tersebut kemudian
disempurnakan menjadi:
"I have been using the word
ethnomathematics as modes, styles, and techniques ( tics ) of explanation, of
understanding, and of coping with the natural and cultural environment (
mathema ) in distinct cultural systems ( ethno )" (D'Ambrosio, 1999, 146).
Artinya: "Saya telah
menggunakan kata Etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik (tics)
menjelaskan, memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema)
dalam sistem budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio, 1999, 146).
Dari definisi
tersebut etnomatematika dapat diartikan sebagai matematika yag dipraktikkan
oleh kelompok budaya, seperti masyarakat perkotaan dan pedesaan, kelompok
buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakat adat, dan lainnya.
Jadi dasar dari Ethnomathemathics adalah budaya.
Etnomathematics
tentunya mempunyai keselarasan dengan metode yang lain. Karena Etnomathematics
menggunakan hermenitika, sangat memungkinkan menggunakan metode yang selaras,
antara lain yang pertama adalah pendekatan rmatematika realistik. Realistic
mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan matematika
realistik (PMR), merupakan sebuah pendekatan belajar matematika yang
dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal
Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada
anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah kegiatan
manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika
dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep
matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Maka dalam pendekatan
matematika realistik terdapat empat tingkatan yaitu :
1. benda
konkret;
2. model
konkret;
3. model
formal;
4. matematika
formal.
Matematika
konkret kita gali menggunakan Etnomathematics. Lalu yang kedua ada cooperative
learning. Slavin (dalam Rusdi ,1998) mendefinisikan cooperative learning
sebagai suatu pendekatan pembelajaran ,dimana siswa bekerja dalam suatu
kelompok yang heterogen , yang anggotanya terdiri dari empat atau enam orang.
Melalui kelompok tersebut mengamati benda bersama-sama, karena unsur dasar
Etnomathematics adalah artifacts (benda konkret).
Contoh attefak
yaitu bangunan-bangunan di Bali. Semadiartha (2011) mengajukan konsep refleksi
yang digunakan pada bangunan-bangunan di Bali.
Misalnya:
Selain itu, Nenek-nenek
kita di Bali mungkin tidak mengenal definisi lingkaran sebagai himpunan
titik-titik yang berjarak sama. Mereka juga bisa jadi tidak tahu bagaimana membuat
gambar lingkaran dengan menggunakan jangka seperti yang biasa kita
lakukan.Mereka mungkin tidak tahu jumlah sudut dalam lingkaran sebesar 3600.Tapi
dengan jelas mereka bisa membuat bentuk lingkaran dengan menggunakan peralatan
sederhana, hanya dengan busung (janur/daun kelapa yang masih
muda), semat (lidi tajam yang berguna untuk
merekatkan bagian-bagian busung),
dan pisau. C aranya yaitu dengan memotong janur dalam ukuran yang sama.
Pertemukan tengahnya kemudian semat ujung-ujungnya.
Ilustrasinya sebagai
berikut:
DAFTAR
PUSTAKA
https://p4mriundiksha.wordpress.com/2013/11/10/etnomatematika/ (diakses pada 29 Februari 2016)
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/mathedunesa/article/view/249/402 (diakses pada 29 Februari 2016)
Refleksi kuliah pertama Etnomathematics
dengan Prof. Dr. Marsigit, S1 Pendidikan
Matematika A 2013.